MENGENAL CEDERA ACL, CEDERA LANGGANAN

PARA ATLET!!!

 

Anterior cruciate ligament (ACL) merupakan salah satu dari 4 ligamen utama yang menyambungkan tulang paha dengan tulang kering. Ligamen ini berada pada bagian tengah lutut dan memiliki fungsi untuk mencegah tulang kering agar tidak bergeser ke arah depan tulang paha.

ACL adalah ligamen yang paling sering mengalami gangguan yang biasanya terjadi pada atlet basket dan sepak bola. Mayoritas cedera anterior cruciate ligament (ACL) adalah cedera non-kontak. Cedera lutut di Indonesia merupakan tertinggi ke dua setelah nyeri punggung, dengan prevalensi sebesar 48 per 1000 pasien dengan 9% adalah cedera ACL. Berdasarkan prevalensinya, atlet wanita dilaporkan mengalami cedera ACL non-kontak pada tingkat yang lebih tinggi dibandingkan dengan pria. Atlet wanita mungkin lebih rentan terhadap cedera ACL karena sejumlah faktor, seperti, perbedaan biomekanik, peningkatan kemiringan tulang kering belakang, dan hormon (dengan proporsi cedera yang lebih besar terjadi pada fase menstruasi).

Peregangan yang berlebihan atau robeknya ACL di lutut dikenal dengan sebutan ACL rupture. Cedera ACL dapat terjadi jika atlet terhantam sangat keras di sisi lututnya, seperti saat melakukan tekel sepak bola, meregangkan sendi lutut secara berlebihan, serta saat berhenti bergerak dengan cepat. Jika kerobekan ACL lebih dari 50% keseluruhan total, maka dapat menyebabkan ketidakstabilan pada sendi lutut. Ketidakstabilan ini akan menyebabkan rusaknya bantalan sendi atau meniskus. Penilaian derajat cedera ACL dapat dilakukan berdasarkan besar kecilnya robekan yang terjadi, yaitu:

  • Derajat 1

Robekan mikro pada ligamen. Umumnya tidak menimbulkan gejala ketidakstabilan dan pasien dapat kembali bermain setelah proses penyembuhan.

  • Derajat 2

Robekan parsial dengan perdarahan. Terjadi penurunan fungsi dan dapat menimbulkan gejala ketidakstabilan.

  • Derajat 3

Robekan total dengan gejala ketidakstabilan yang sangat berarti.

 

Gejala awal yang mungkin dirasakan adalah sebagai berikut:

  1. Suara “pop” pada saat cedera
  2. Pembengkakan lutut yang terlihat jelas 6 jam setelah cedera
  3. Nyeri, terutama saat mencoba memberi beban pada kaki yang cedera
  4. Kesulitan dalam melanjutkan aktivitas olahraga
  5. Rasa ketidakstabilan pada lutut atau terasa lepas saat digunakan

 

Apabila terdapat gejala-gejala di atas, saran terbaik adalah untuk menghindari segala jenis olahraga ataupun aktivitas berat sebelum mendapatkan penanganan oleh tenaga medis profesional. Namun, pertolongan pertama yang dapat dilakukan saat mengalami cedera ini adalah dengan mengangkat kaki yang cedera di atas jantung, menempatkan es di lutut, serta mengkonsumsi pereda nyeri, seperti obat antiinflamasi nonsteroid.

Setelah fase akut cedera atau pada saat rasa bengkak dan nyeri berkurang, pasien dapat melakukan pemeriksaan fisik. Fisioterapi akan membantu untuk menetapkan diagnosis dari gelaja dan keluhan yang dialami. Terapis akan memeriksa menggunakan test spesifik untuk menegakkan diagnosis apakah hanya terjadi cedera atau bahkan kerobekan ACL sepenuhnya. Beberapa test spesifik yang akan dilakukan yaitu:

 

Cedera ACL:

  1. Anterior active drawer test

Pada tes ini, pasien diarahkan untuk tidur terlentang kemudian menekuk lututnya. Terapis akan menahan pergerangan kaki pasien. Langkah terakhir, arahkan pasien untuk menendang. Jika terjadi pergeseran berlebi pada tulang tibia, maka tes dianggap positif.

  1. Lachman test

Arahkan pasien untuk tidur terlentang dan menekuk lututnya 20 derajat, kemudian pegang bagian belakang atas betis pasien dan tarik ke depan. Jika terjadi gerakan berlebihan/nyeri pada bagian lutut, maka hasil tes positif.

 

Kerobekan ACL sepenuhnya:

  1. Noyes Test

Pada noyes test, mintalah pasien untuk duduk pada kursi atau di pinggir bed dengan keadaan kaki menggantung. Arahkan pasien untuk meluruskan kakinya. Jika pasien tidak mampu untuk melakukannya dan menyisakan 15-30 derajat, maka tes dianggap positif.

 

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan adalah dengan melakkukan rontgen maupun MRI. Tata laksana cedera ACL berupa terapi non-operatif dan operatif. Terapi non-operatif dapat diberikan pada pasien dengan derajat cedera 1-2 dengan menggunakan modalitas terapi seperti ultrasound dan diathermy, pemakaian brace lutut, serta program penguatan otot tungkai bawah. Sedangkan terapi operatif dilakukan dengan metode rekonstruksi. Rekonstruksi menjadi pilihan utama karena tindakan penjahitan ligamen ACL sering mengalami kegagalan. Hal itu disebabkan karena ligamen ACL tidak memiliki fibrin sehingga setiap robekan yang terjadi tidak dapat mengalami penyembuhan sendiri. Rekonstruksi adalah metode operatif untuk mengganti ligamen ACL dengan bahan yang lain (graft). Umumnya bahan tersebut diambil dari tendon hamstring (paha belakang) atau tendon patella pasien itu sendiri sehingga disebut autograft.

Pencegahan dapat dilakukan dengan pelatihan neuromuskular yang sudah terbukti efektif pada atlet-atlet sepak bola, futsal, dan bola voli. Pada intinya, gunakan teknik yang tepat saat berolahraga. Beberapa program olahraga mengajarkan atlet cara mengurangi tekanan pada ACL. Ini melibatkan serangkaian latihan pemanasan, latihan melompat dan mendarat yang terbukti mengurangi cedera ACL.

 

 

Sumber:

 

Manske, R.C., Giangarra, C. E., eds. 2018. “Clinical Orthopaedic Rehabilitation: A Team Approach, 4th Edition”. Elsevier, Inc.

Miller, M. D., Thompson, S. R. 2020. “DeLee, Drez, & Miller’s Orthopaedic Sports Medicine : Principles and Practice, 5th Edition”. Elsevier, Inc.

Nugrah, A. N. (2022). Gambaran Tingkat Aktivitas Fisik Pada Prajurit TNI Pasca Cedera Anterior Cruciate Ligament di Kota Makassar. Universitas Hassanuddin Makassar.

Orfaly, R. M., et al. 2022. Management of Anterior Cruciate Ligament Injuries: Evidence-Based Clinical Practice Guideline. The American Academy of Orthopaedic Surgeons.

Zein, M. I. (2013). Cedera Anterior Cruciate Ligament (ACL) pada Atlet Berusia Muda. MEDIKORA.

 

 

 

 

 

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *